Melihat dunia pendidikan

Selamat datang para bloger dan pembaca yang terkasih

Minggu, 21 Februari 2010

Contoh BAB II PTK

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran
Pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses interaksi antara
siswa dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah
lebih baik. Selama proses pembelajaran, tugas guru yang paling utama
adalah mengkondisikan lingkungan belajar agar menunjang terjadinya
perubahan perilaku bagi siswa (E. Mulyasa, 2003). Sementara menurut
Syaiful Sagala (2006), pembelajaran ialah membelajarkan siswa
menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan
penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses
komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai
pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa.
Berdasarkan teori belajar ada lima pengertian pembelajaran,
diantaranya sebagai berikut: 1). Pembelajaran adalah upaya menyampaikan
pengetahuan kepada siswa di sekolah; 2). Pembelajaran adalah mewariskan
kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga sekolah;
3). Pembelajaran adalah upaya mengorganisasikan lingkungan untuk
menciptakan kondisi belajar bagi siswa; 4). Pembelajaran adalah upaya
untuk mempersiapkan siswa untuk menjadi warga masyarakat yang baik;
5). Pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi
kehidupan masyarakat sehari-hari (Oemar Hamalik, 1995). Sementara itu
Dimyati, dkk (2002), menyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses
yang diselenggarakan oleh guru untuk memberi pengalaman belajar kepada
siswa mengenai cara memperoleh dan memproses pengetahuan,
keterampilan dan sikap.
Pembelajaran bertujuan mengembangkan potensi siswa secara
optimal yang memungkinkan siswa dapat mencapai tujuan yang
diharapkan dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat.
Pembelajaran dipengaruhi oleh faktor kemampuan guru dalam
melaksanakan pembelajaran dengan adanya interaksi antara guru dan siswa
serta kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran (Cece Wijaya,
2000).
Pembelajaran yang dilaksanakan harus bertumpu pada enam pilar
pendidikan universal seperti yang dirumuskan UNESCO. Menurut Wiji
Suwarno (2006), enam pilar pembelajaran tersebut adalah learning to know
(belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan
sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), learning to live
together (belajar untuk menjalani hidup bersama), learning how to learn
(belajar bagaimana cara mengembangkan potensi diri), dan learning
throughout life (belajar terus menerus sepanjang masa).
Pembelajaran mempunyai dua karakteristik utama, yaitu: 1). Dalam
proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal,
bukan hanya menuntut siswa untuk sekedar mendengar, mencatat, akan
tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir; 2). Dalam
pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus
menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu
dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka
konstruksi sendiri (Syaiful Sagala, 2006).
Salah satu upaya untuk meningkatkan keberhasilan belajar yaitu
dengan menggunakan pembelajaran aktif, siswa melakukan sebagian besar
pekerjaan yang harus dilakukan. Disamping itu, siswa dapat menggunakan
potensi otak untuk melakukan pekerjaannya, mengeluarkan ide/gagasan,
memecahkan masalah dan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari.
Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung dan
menarik hati dalam belajar untuk mempelajari sesuatu dengan baik. Belajar
aktif membantu untuk mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan tentang
pelajaran tertentu dan mendiskusikannya dengan yang lain. Dalam belajar
aktif yang paling penting bagi siswa perlu memecahkan masalah sendiri,
menemukan contoh-contoh, mencoba keterampilan-keterampilan dan
mengerjakan tugas-tugas yang tergantung pada pengetahuan yang telah
mereka miliki atau yang akan dicapai (Melvin L. Silberman, 2007).
B. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Model pembelajaran mempunyai andil yang cukup besar selama
proses pembelajaran. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa
ditentukan oleh kerelevansian dalam penggunaan suatu model
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan. Sehingga tujuan pembelajaran
akan dicapai dengan penggunaan model yang tepat, sesuai dengan standar
keberhasilan dalam tujuan pembelajaran. (Syaiful Bahri Djamarah, 2002).
Dalam proses pembelajaran, siswa mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda diantaranya: lingkungan sosial, lingkungan budaya, gaya
belajar, keadaan ekonomi, dan tingkat kecerdasan. Fakta tersebut menjadi
bahan pertimbangan dalam menyusun suatu strategi pembelajaran yang
tepat (W. Gulo, 2005).
Anita Lie (2008), menyatakan bahwa ada tiga pilihan model
pembelajaran, yaitu kompetisi, individual, dan cooperative learning. Model
pembelajaran cooperative learning merupakan sistem pengajaran yang
memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama
siswa dalam tugas-tugas yang terstuktur disebut sebagai sistem
“pembelajaran gotong royong”. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai
fasilitator. Model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan
sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran
cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok
yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model cooperative
learning dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas
dengan lebih efektif.
Sementara Etin Solihatin & Raharjo (2007) mengartikan
cooperative sebagai bentuk kerja sama dalam mencapai tujuan bersama.
Cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang
membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai
dengan kehidupan nyata sehingga dalam bekerja secara bersama-sama di
antara sesama anggota kelompok dapat meningkatkan motivasi,
produktivitas, dan hasil belajar. Dalam kegiatan kooperatif, siswa secara
individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota
kelompoknya. Sehingga belajar kooperatif merupakan pemanfaatan
kelompok kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja
sama untuk mengoptimalkan proses belajarnya.
Menurut Robert E. Slavin (2008), pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas
dijadikan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang
dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah
siswa bekerja sama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial
dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada siswa untuk
mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia
menjadi nara sumber bagi teman yang lain untuk memahami konsep yang
difasilitasi oleh guru. Sehingga model pembelajaran kooperatif
mengutamakan kerja sama di antara siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: 1) untuk
menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara
kooperatif; 2) kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki
kemampuan tinggi, sedang dan rendah; 3) jika dalam kelas terdapat siswasiswa
yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya jenis kelamin yang
berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras, suku,
budaya, jenis kelamin yang berbeda pula; 4) penghargaan lebih diutamakan
pada kerja kelompok dari pada perorangan. Anita Lie (2008), menyatakan
bahwa ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
kelas model cooperative learning, yaitu pengelompokan, semangat gotong
royong, dan penataan ruang kelas.
Muslimin Ibrahim, dkk (2000), menyatakan bahwa prinsip-prinsip
dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: 1) siswa dalam
kelompok harus beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan
bersama; 2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam
kelompoknya; 3) siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam
kelompoknya memiliki tujuan yang sama; 4) siswa harus membagi tugas
dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya; 5) siswa
akan dikenakan evaluasi atau diberikan penghargaan yang juga akan
dikenakan untuk semua anggota kelompok; 6) siswa berbagi
kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar
bersama selama proses pembelajaran; 7) siswa akan diminta
mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam
kelompok kooperatif.
Menurut Johnson & Johnson (1989) dalam Anita Lie (2008),
suasana belajar cooperative learning menghasilkan prestasi yang lebih
tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang
lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan
memisah-misahkan siswa. Sementara Richard I. Arends (2008),
menyatakan struktur tujuan kooperatif terjadi apabila siswa dapat mencapai
tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok belajarnya. Maka dari itu setiap
anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya.
Siswa dalam situasi cooperative learning dituntut untuk mengerjakan tugas
yang sama secara bersama-sama, dan mereka harus mengoordinasikan
usahanya untuk menyelesaikan tugas tersebut. Model pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan
pembelajaran penting yaitu: 1) meningkatkan hasil akademik; 2) toleransi
dan penerimaan terhadap keanekaragaman; 3) untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa.
Nurhadi (2004), menyebutkan adanya beberapa keuntungan metode
pembelajaran kooperatif, antara lain: 1) meningkatkan kepekaan dan
kesetiakawanan sosial; 2) memungkinkan para siswa saling belajar
mengenai sikap, keterampilan, informasi, dan perilaku sosial;
3) menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois; 4)
membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa; 5)
meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia; 6)
meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai
perspektif; 7) meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang
dirasakan lebih baik; 8) meningkatkan kegemaran berteman tanpa
memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat,
etnik, kelas sosial, dan agama.
Menurut Robert E. Slavin (2008), model pembelajaran kooperatif
juga mempunyai kelemahan, diantaranya sebagai berikut: 1) memerlukan
persiapan yang rumit untuk pelaksanaannya; 2) apabila terjadi persaingan
yang negatif maka hasilnya akan buruk; 3) apabila ada siswa yang malas
atau ada yang ingin berkuasa dalam kelompoknya sehingga menyebabkan
usaha kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya; 4) adanya siswa
yang tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam belajar kelompok.
Sementara itu, Richard I. Arends (2008), menyatakan bahwa model
cooperative learning bisa sangat sulit bagi seorang guru pemula karena
model itu menuntut koordinasi simultan dari berbagai macam kegiatan. Di
lain pihak, model ini dapat mencapai beberapa tujuan pendidikan penting
yang tidak dapat dicapai oleh model-model lain, dan reward tipe
pengajaran ini bisa luar biasa besar bagi guru yang merencanakan dengan
cermat.
Menurut Robert E. Slavin (2008), metode Student Team Learning
adalah teknik pembelajaran kooperatif. Dalam metode Student Team
Learning, tugas-tugas yang diberikan pada siswa bukan melakukan sesuatu
sebagai sebuah tim, tetapi belajar sesuatu sebagai sebuah tim. Tiga konsep
penting dalam metode Student Team Learning adalah penghargaan bagi
tim, tanggung jawab individu, dan kesempatan sukses yang sama. Metode
tersebut dikembangkan menjadi beberapa variasi, antara lain:
1. Student Team-Achievement Division (STAD),
2. Teams-Games-Tournament (TGT),
3. Jigsaw II,
4. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), dan
5. Team Accelerated Instruction (TAI).
C. TGT (Teams-Games-Tournament)
Teams-Games-Tournament (TGT), pada mulanya dikembangkan
oleh David DeVries dan Keith Edwards, ini merupakan metode
pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Dalam metode ini, para siswa
dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat sampai lima orang yang
berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang
etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim
mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai
pelajaran. Selanjutnya diadakan turnamen, di mana siswa memainkan game
akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor
timnya. TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari
penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam
mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan
dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, memastikan telah terjadi
tanggung jawab individual (Robert E. Slavin, 2008).
Pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah salah satu metode
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas
seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa
sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks
disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat
dan keterlibatan belajar (Kiranawati, 2007).
Menurut Robert E. Slavin (2008), pembelajaran kooperatif tipe
TGT terdiri dari 5 komponen utama, yaitu : presentasi di kelas, tim
(kelompok), game (permainan), turnamen (pertandingan), dan rekognisi
tim (perhargaan kelompok). Prosedur pelaksanaan TGT dimulai dari
aktivitas guru dalam menyampaikan pelajaran, kemudian siswa bekerja
dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah
menguasai pelajaran. Selanjutnya diadakan turnamen, di mana siswa
memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk
menyumbangkan poin bagi skor timnya.
Lebih lanjut, dijelaskan mengenai langkah-langkah pembelajaran
TGT modifikasi dari Robert E. Slavin bahwa TGT terdiri dari siklus
reguler dari aktivitas pengajaran, sebagai berikut:
1. Presentasi Kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian
kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan
ceramah, dan diskusi yang dipimpin guru. Disamping itu, guru juga
menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa,
dan memberikan motivasi. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus
benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan
guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja
kelompok dan pada saat game/turnamen karena skor game/turnamen
akan menentukan skor kelompok.
2. Belajar Kelompok (Tim)
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Siswa bekerja
dalam kelompok yang terdiri atas 5 orang yang anggotanya heterogen
dilihat dari kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik
yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok,
diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa
yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang
dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan
tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara
kooperatif sangat menyenangkan. Pada saat pembelajaran, fungsi
kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman
kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota
kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat
game/turnamen. Setelah guru menginformasikan materi dan tujuan
pembelajaran, kelompok berdiskusi dengan menggunakan modul.
Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama,
saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok
yang salah dalam menjawab. Penataan ruang kelas diatur sedemikian
rupa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
3. Persiapan Permainan/Pertandingan
Guru mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
materi, bernomor 1 sampai 30. Kemudian guru mempersiapkan alat-alat
untuk permainan, yaitu: kartu permainan yang dilengkapi nomor, skor,
pertanyaan, dan jawaban mengenai materi.
4. Permainan/Pertandingan (Game/Turnamen)
Game/Turnamen terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
untuk menguji pengetahuan yang diperoleh siswa dari penyajian kelas
dan belajar kelompok. Tiap kelompok (tim) mendapat kesempatan untuk
memilih kartu bernomor yang tersedia pada meja turnamen dan
mencoba menjawab pertanyaan yang muncul. Apabila tiap anggota
dalam suatu tim tidak bisa menjawab pertanyaannya, maka pertanyaan
tersebut dilempar kepada kelompok lain, searah jarum jam. Tim yang
bisa menjawab dengan benar pertanyaan itu akan mendapat skor yang
telah tertera dibalik kartu tersebut. Skor ini yang nantinya dikumpulkan
tim untuk menentukan skor akhir tim. Pemilihan kartu bernomor akan
digilir pada tiap-tiap tim secara bergantian searah jarum jam, sampai
habis jatah nomornya.
5. Rekognisi Tim (Penghargaan Tim)
Penghargaan diberikan kepada tim yang menang atau mendapat skor
tertinggi, skor tersebut pada akhirnya akan dijadikan sebagai tambahan
nilai tugas siswa. Selain itu diberikan pula hadiah (reward) sebagai
motivasi belajar.
Adanya dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan
permainan dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT, diharapkan
siswa dapat menikmati proses pembelajaran dengan situasi yang
menyenangkan dan termotivasi untuk belajar dengan giat yang pada
akhirnya akan mempengaruhi tingkat konsentrasi, kecepatan menyerap
materi pelajaran, dan kematangan pemahaman terhadap sejumlah materi
pelajaran sehingga hasil belajar mencapai optimal.
Muflihah (2004), dalam penelitiannya yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa metode TGT dapat meningkatkan hasil belajar dengan
baik. Penerapan pembelajaran TGT dapat dijadikan alternatif bagi guru
dalam menyampaikan materi pelajaran, membantu mengaktifkan
kemampuan siswa untuk bersosialisasi dengan siswa lain. Siswa terbiasa
bekerja sama dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar,
sehingga hal ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa. TGT merupakan
salah satu metode pembelajaran kooperatif yang sangat bermanfaat bagi
siswa. Adanya permainan dalam bentuk turnamen akademik yang
dilaksanakan pada akhir pokok bahasan, memberikan peluang bagi setiap
siswa untuk melakukan yang terbaik bagi kelompoknya, hal ini juga
menuntut keaktifan dan partisipasi siswa pada proses pembelajaran.
Dengan demikian akan terjadi suatu kompetisi atau pertarungan dalam hal
akademik, setiap siswa berlomba-lomba untuk memperoleh hasil belajar
yang optimal.
D. Motivasi Belajar
Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu
tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung,
tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan,
dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu.
Dengan demikian, motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri
seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih
baik dalam memenuhi kebutuhannya (Hamzah B. Uno, 2008). Sedangkan
Moh. Uzer Usman (2003), berpendapat bahwa motif merupakan daya atau
kemauan dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan
motivasi adalah usaha membangkitkan motif-motif sehingga menjadi suatu
perbuatan.
Hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal
pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan
tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang
mendukung. Hal tersebut mempunyai peranan besar dalam keberhasilan
seseorang dalam belajar. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: 1) adanya hasrat dan keinginan berhasil; 2) adanya
dorongan dan kebutuhan dalam belajar; 3) adanya harapan dan cita-cita
masa depan; 4) adanya penghargaan dalam belajar; 5) adanya kegiatan
yang menarik dalam belajar; 6) adanya lingkungan belajar yang kondusif,
sehingga memungkinkan seorang siswa dapat belajar dengan baik (Hamzah
B. Uno, 2008).
Menurut Oemar Hamalik (2003), dalam kegiatan belajar, motivasi
dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa
yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari
kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga
tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai. Sementara
Sardiman A.M (2007), menyatakan bahwa siswa yang memiliki motivasi
kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
Dalam belajar sangat diperlukan adanya motivasi. Motivation is an
essential condition of learning. Hasil belajar akan menjadi optimal, apabila
terdapat motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin
berhasil pula pelajaran itu. Dengan kata lain, adanya usaha yang tekun dan
didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar akan dapat
melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan
sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.
Moh. Uzer Usman (2003), menyatakan bahwa guru perlu
mengetahui motivasi yang terdapat dalam diri siswanya. Guru berperan
selaku motivator, pemberi semangat agar motif-motif yang positif pada
anak dapat dibangkitkan, ditingkatkan, dan dikembangkan. Tingkat
motivasi pertama berkenaan dengan individu, yang mendorong seseorang
untuk melakukan upaya yang lebih besar. Yang kedua berfokus pada tim,
yang menguatkan hubungan suatu kelompok dengan tujuan bersama untuk
mencapai keberhasilan (Brian Clegg, 2001).
Menurut E. Mulyasa (2007), beberapa prinsip yang dapat
diterapkan untuk meningkatkan motivasi siswa, diantaranya: 1) siswa akan
belajar lebih giat apabila kompetensi dasar yang dipelajari menarik, dan
berguna bagi dirinya; 2) kompetensi dasar harus disusun dengan jelas dan
diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahuinya dengan
jelas, siswa juga dapat dilibatkan dalam penyusunan indikator kompetensi;
3) siswa harus selalu diberi tahu tentang hasil belajar dan pembentukan
kompetensi pada dirinya; 4) pemberian pujian dan hadiah lebih baik
daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan; 5)
manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa; 6) usahakan
untuk memperhatikan perbedaan individu siswa, misal perbedaan
kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subjek
tertentu; 7) usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan
memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman, menunjukkan
bahwa guru memperhatikan mereka, mengatur pengalaman belajar
sedemikian rupa sehingga setiap siswa pernah memperoleh kepuasan dan
penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar ke arah keberhasilan,
sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri.
Menurut Hamzah B. Uno (2008), beberapa teknik motivasi yang
dapat dilakukan dalam pembelajaran sebagai berikut: 1) pernyataan
penghargaan secara verbal; 2) menggunakan nilai ulangan sebagai pemacu
keberhasilan; 3) menimbulkan rasa ingin tahu; 4) memunculkan sesuatu
yang tidak diduga oleh siswa; 5) menjadikan tahap dini dalam belajar
mudah bagi siswa; 6) menggunakan materi yang dikenal siswa sebagai
contoh dalam belajar; 7) menuntut siswa untuk menggunakan hal-hal yang
telah dipelajari sebelumnya; 8) menggunakan simulasi dan permainan; 9)
memberi kesempatan kepada siswa untuk memperlihatkan kemahirannya di
depan umum; 10) memanfaatkan kewibawaan guru secara tepat;
11) memperpadukan motif-motif yang kuat; 12) memperjelas tujuan belajar
yang hendak dicapai; 13) merumuskan tujuan-tujuan sementara; 14)
membuat suasana persaingan yang sehat di antara para siswa; 15)
memberikan contoh yang positif.
E. Biologi dan Sistem Koordinasi Manusia
Istilah Biologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “bios” yang artinya
hidup dan “logos” yang artinya ilmu, sehingga Biologi dapat diartikan
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan yang
meliputi unsur biotik dan unsur abiotik. Unsur biotik contohnya hewan,
tumbuhan dan manusia. Sedangkan unsur abiotik contohnya air, cahaya,
suhu, gunung, dan sebagainya. Biologi merupakan seluruh pengetahuan
tentang kehidupan yang bersifat logis dan ilmiah yang diperoleh dari dulu
hingga sekarang (Arif Pribadi dkk, 2004).
Sebagai ilmu, Biologi mengkaji berbagai persoalan yang terkait
dengan berbagai fenomena kehidupan makhluk hidup pada berbagai
tingkat organisasi kehidupan dan interaksi dengan faktor lingkungan.
Makhluk hidup sebagai objek Biologi memiliki karakteristik tersendiri
dibanding objek sains lainnya. Biologi berkaitan dengan cara mencari tahu
dan memahami alam secara sistematis. Pendidikan Biologi diharapkan
dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan
alam sekitarnya (Anonim, 2002).
Menurut Kimball John W (2002), Biologi merupakan ilmu untuk
mengetahui lebih banyak mengenai diri kita sendiri dan bumi yang kita
huni. Materi pokok sistem koordinasi manusia merupakan salah satu materi
biologi yang membahas tentang sistem yang terjadi pada tubuh makluk
hidup, yaitu manusia. D. A. Pratiwi, dkk (2004), menyatakan bahwa tubuh
manusia dilengkapi dengan dua perangkat pengatur seluruh kegiatan tubuh.
Kedua perangkat ini merupakan sistem koordinasi yang terdiri dari sistem
saraf dan sistem hormon .
Sistem Koordinasi merupakan sistem organ yang bekerja sama
secara efisien. Sistem koordinasi manusia meliputi sistem indera, sistem
saraf, dan sistem hormon.
1. Sistem Saraf
Neuron (sel saraf), merupakan unit struktural dan fungsional
dari sistem saraf. Struktur neuron terdiri dari badan sel
(soma/perikarion), dendrit, dan akson. Sistem saraf pada manusia
terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Sistem saraf pusat, terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.
Sistem saraf pusat berfungsi mengatur dan mengendalikan semua
aktivitas tubuh.
b. Sistem saraf tepi (perifer), berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi
saraf somatik (sadar), yaitu saraf kranial dan spinal; serta saraf
otonom (tak sadar), yaitu saraf simpatik dan parasimpatik.
Pengaruh obat-obatan dan narkoba terhadap sistem saraf:
narkoba (narkotika dan obat berbahaya yang berbentuk zat-zat kimia).
Dalam pengobatan secara medis dikenal adanya zat-zat kimia yang
mampu mengurangi atau menghilangkan rasa sakit, namun tidak
memiliki efek penyembuhan. Zat-zat kimia inilah yang sering
disalahgunakan karena pemakaian dengan dosis yang berlebihan akan
berakibat buruk bagi kesehatan dan dapat menimbulkan kerusakan pada
sistem saraf. Gangguan pada sistem saraf manusia, antara lain: Epilepsi,
Neuritis, Alzheimer, Amnesia, Stroke, Parkinson, Poliomielitis,
Neurasthonia.
2. Sistem Indera
Indera adalah bagian tubuh yang mampu menerima rangsangan
tertentu. Manusia memiliki panca indera, yaitu hidung, lidah, mata,
telinga, dan kulit.
3. Sistem Hormon
Hormon adalah zat kimia dalam bentuk senyawa organik yang
dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Hormon berfungsi dalam mengatur
homeostasis, metabolisme, reproduksi, pertumbuhan, perkembangan,
dan tingkah laku. Homeostasis adalah pengaturan secara otomatis dalam
tubuh agar kelangsungan hidup dapat dipertahankan. Hormon bekerja
atas perintah dari sistem saraf atau hormon yang lain. Sistem yang
mengatur kerja sama antara saraf dan hormon terdapat pada bagian
hipotalamus.
Kelenjar endokrin meliputi kelenjar hipofisis, tiroid, paratiroid,
adrenal, ovarium, testis, pankreas, plasenta.
a. Kelenjar Hipofisis (Pituitari)
1) Hipofisis lobus anterior, menghasilkan: hormon somatotrof,
hormon thyrotropin atau Thyroid Stimulating Hormone (TSH),
Adrenokortikotropic Hormone (ACTH), prolaktin atau
Lactogenic Hormone (LTH), hormon gonadotropin pada wanita:
Folicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH),
dan hormon gonadotropin pada pria: FSH, Interstitial Cell
Stimulating Hormone (ICTH).
2) Hipofisis pars intermedia, menghasilkan MSH (Melanocyte
Stimulating Hormone).
3) Hipofisis lobus posterior, menghasilkan: hormon oksitoksin,
hormon antidiuretik (ADH) atau vasopressis.
b. Kelenjar Tiroid, menghasilkan hormon tiroksin dan triyodotironin.
c. Kelenjar Paratiroid, menghasilkan parathormon.
d. Kelenjar Suprarenalis, menghasilkan hormon kortison, hormon
adrenalin dan hormon noradrenalin.
e. Kelenjar Pankreas (Langerhans), menghasilkan hormon insulin dan
hormon glukagon.
f. Ovarium, merupakan kelenjar kelamin wanita yang berfungsi
menghasilkan ovum, hormon estrogen dan hormon progesteron.
g. Testis sebagai kelenjar kelamin pria mensekresi hormon testosteron.
h. Plasenta, merupakan jaringan yang menghubungkan ibu dengan
bayi di dalam rahim. Plasenta menghasilkan beberapa hormon,
yaitu: gonadotropin korion, estrogen, progesteron, somatotropin
(Diah Aryulina, dkk, 2006).
F. Hasil Belajar
Belajar dan mengajar sebagai aktivitas utama di sekolah meliputi
tiga unsur, yaitu tujuan pengajaran, pengalaman belajar mengajar dan hasil
belajar. Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai siswa setelah
mengalami proses belajar dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Nana
Sudjana, 2006).
Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai seseorang setelah
melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar ini merupakan penilaian yang
dicapai seorang siswa untuk mengetahui pemahaman tentang bahan
pelajaran atau materi yang diajarkan sehingga dapat dipahami siswa. Untuk
dapat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dilakukan
usaha untuk menilai hasil belajar. Penilaian ini bertujuan untuk melihat
kemajuan peserta didik dalam menguasai materi yang telah dipelajari dan
ditetapkan (Suharsimi Arikunto, 2001).
Hasil belajar tampak sebagai perubahan tingkah laku pada diri
siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan
pengetahuan, sikap dan keterampilan (Oemar Hamalik, 2003). Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hal
penting dalam proses belajar mengajar, karena dapat menjadi petunjuk
untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan seorang siswa dalam kegiatan
belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Dengan demikian jika
pencapaian hasil belajar itu tinggi, dapat dikatakan bahwa proses belajar
mengajar itu berhasil.
Menurut Bloom dalam Nana Sudjana (2006), ada tiga ranah
(domain) hasil belajar, yaitu: 1). Ranah afektif, merupakan aspek yang
berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau
penolakan terhadap suatu objek; 2). Ranah psikomotor, merupakan aspek
yang berkaitan dengan kemampuan melakukan pekerjaan yang melibatkan
anggota badan, kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik; 3). Ranah
kognitif, merupakan aspek yang berkaitan dengan kemampuan berpikir,
kemampuan memperoleh pengetahuan, kemampuan yang berkaitan dengan
perolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi,
penentuan dan penalaran.
Sardiman A.M (2007), menyatakan bahwa hasil belajar dipengaruhi
oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah diketahui si subjek
belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan
bahan yang sedang dipelajari. Sementara itu Moh. Uzer Usman (2003),
menyatakan hasil belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Hasil belajar yang dicapai siswa pada hakikatnya merupakan hasil interaksi
antara berbagai faktor tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar, antara lain:
1. Faktor yang berasal dari diri sendiri (internal)
Faktor internal meliputi: a) faktor jasmaniah (fisiologi), seperti
mengalami sakit, cacat tubuh atau perkembangan yang tidak sempurna;
b) faktor psikologis, seperti kecerdasan, bakat, sikap, kebiasaan, minat
kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri; serta c) faktor
kematangan fisik maupun psikis.
2. Faktor yang berasal dari luar diri (eksternal)
Faktor eksternal meliputi: a) faktor sosial, seperti lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat, dan kelompok; b) faktor budaya, seperti adat
istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian; c) faktor
lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah dan fasilitas belajar; serta d)
faktor lingkungan spiritual atau keagamaan.
Muslimin Ibrahim, dkk (2000), menyatakan bahwa hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif
lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan
pengalaman-pengalaman belajar individu atau kompetitif. Peningkatan
belajar tidak bergantung pada usia siswa, mata pelajaran atau aktivitas
belajar.
G. PTK (Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan suatu penelitian
tindakan yang permasalahannya berasal dari kelas, menyangkut proses
pembelajaran dan dirasakan langsung oleh guru yang bersangkutan. Dalam
PTK, peneliti atau guru dapat melihat sendiri praktek pembelajaran atau
bersama guru lain, peneliti atau guru dapat melakukan penelitian terhadap
siswa dilihat dari berbagai aspek interaksinya dalam proses pembelajaran.
Penelitian tindakan kelas merupakan bentuk investigasi yang bersifat
reflektif, partisipatif, kolaboratif yang memiliki tujuan untuk melakukan
perbaikan sistem, metode kerja, proses, isi, kompetensi dan situasi
(Supardi, 2006).
Menurut Rochiati Wiriaatmadja (2006), penelitian tindakan kelas
merupakan bentuk penelitian yang dilakukan secara kolaboratif dan
partisipatif. Artinya secara kolaboratif, guru tidak melakukan penelitian
sendiri, ada kemungkinan berkolaborasi atau bekerja sama dengan sesama
guru. Secara partisipatif bersama-sama mitra peneliti akan melaksanakan
penelitian ini langkah demi langkah. Sementara Nurul Zuriah (2006),
menyatakan bahwa penelitian tindakan menekankan kepada kegiatan
(tindakan) dengan mengujicobakan suatu ide ke dalam praktik atau situasi
nyata dalam skala mikro, yang diharapkan kegiatan tersebut mampu
memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.
Menurut Zainal Aqib (2008), PTK setidaknya memiliki
karakteristik antara lain: 1). Didasarkan pada masalah yang dihadapi guru
dalam instruksional; 2). Adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; 3).
Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; 4). Bertujuan
memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktik instruksional;
5). Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
Suharsimi Arikunto (2006), menyatakan bahwa penelitian tindakan
kelas mempunyai tujuan antara lain: 1). Meningkatkan mutu, misi,
masukan, proses, serta hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah; 2).
Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah
pembelajaran dan pendidikan di dalam dan di luar kelas; 3). Meningkatkan
sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan; 4).
Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah, sehingga
tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan
pembelajaran secara berkelanjutan. Sementara menurut Suhardjono (2006),
tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang
terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk
memecahkan masalah tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa
hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. Pada
intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki berbagai persoalan nyata dan
praktis dalam peningkatan mutu pembelajaran di kelas yang dialami
langsung dalam interaksi antara guru dengan siswa yang sedang belajar.
PTK terdiri atas rangkaian empat kegiatan yang dilakukan dalam
siklus berulang. Menurut Suhardjono (2006), keempat kegiatan yang ada
pada setiap siklus yaitu: 1) perencanaan; 2) tindakan; 3) pengamatan;
4) refleksi, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Siklus Penelitian Tindakan Kelas
(Suhardjono, 2006).
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Suhardjono bahwa pelaksanaan PTK
dimulai dari siklus pertama yang terdiri dari empat kegiatan. Apabila sudah
diketahui letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang dilaksanakan
dari siklus pertama tersebut, guru dapat menentukan rancangan untuk
Permasalahan Perencanaan
Tindakan I
Pelaksanaan
Tindakan I
Pengamatan/
Pengumpulan data I
Refleksi I
Permasalahan Baru
Hasil Refleksi
Pengamatan/
Pengumpulan data II
Refleksi II
Apabila permasalahan
belum terselesaikan
Perencanaan
Tindakan II
Pelaksanaan
Tindakan II
Dilanjutkan ke siklus
berikutnya
siklus kedua. Kegiatan pada siklus kedua dapat berupa kegiatan yang sama
dengan kegiatan sebelumnya apabila ditujukan untuk mengulangi
kesuksesan atau untuk meyakinkan hasil. Akan tetapi, umumnya kegiatan
yang dilakukan pada siklus kedua mempunyai berbagai tambahan
perbaikan dari tindakan terdahulu yang tentu saja ditujukan untuk
memperbaiki hambatan atau kesulitan yang ditemukan dalam siklus
pertama. Jika sudah selesai dengan siklus kedua dan guru belum merasa
puas dapat dilakukan dengan siklus ketiga yang cara dan tahapannya sama
dengan siklus sebelumnya. Tidak ada ketentuan tentang berapa kali siklus
yang harus dilakukan. Banyaknya siklus tergantung dari kepuasan peneliti
sendiri, namun Suhardjono menyatakan bahwa sebaiknya tidak kurang dari
tiga siklus.
H. Kerangka Pemikiran
Pembelajaran merupakan kegiatan yang bertujuan secara sistematis
dan terarah pada terjadinya proses belajar. Metode ceramah sering
dipandang sudah biasa bahkan cenderung membuat siswa merasa bosan
dalam mengikuti proses pembelajaran, hal ini berdampak pada siswa
terutama dalam hal keaktifan di mana siswa menjadi pasif. Oleh karena itu,
perlu adanya penggunaan metode-metode pembelajaran yang dapat
menjadikan siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Penggunaan metode
pembelajaran yang tepat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
motivasi dan hasil belajar siswa.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk
memperbaiki proses pembelajaran terdapat dalam model pembelajaran
kooperatif yang melibatkan seluruh siswa untuk bekerja sama secara aktif
dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajarannya yang terstruktur dan
sistematis dapat digunakan pada berbagai jenjang pendidikan dan hampir
pada semua materi. TGT (Teams-Games-Tournament) merupakan salah
satu metode pembelajaran kooperatif yang melibatkan seluruh siswa dari
awal sampai akhir kegiatan pembelajaran. Metode ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling bekerja sama membagi ide-ide
dengan cara berdiskusi mengenai materi pelajaran sampai semua anggota
tim memahami materi pelajaran tersebut sebagai persiapan game/turnamen.
Dengan aplikasi model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams-Games-
Tournament), diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar
siswa yang dapat diukur dalam 2 aspek, yaitu kognitif dan afektif.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dituangkan dalam
bagan sebagai berikut:
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Siswa kelas
XI IPA
Model pembelajaran kooperatif
tipe TGT
Hasil Belajar
Biologi
Aspek Kognitif
dan Afektif
Hasil Observasi:
1. Partisipasi siswa rendah dalam kegiatan
pembelajaran
2. Dominasi siswa tertentu dalam proses
pembelajaran
3. Siswa kurang tertarik dengan cara guru
menyampaikan materi (metode tidak
bervariasi)
4. Sebagian besar siswa kurang termotivasi
untuk belajar
5. Siswa sulit memahami materi pelajaran
biologi
Motivasi Siswa
Observasi